SAH TIDAKNYA TALAK,
IDDAH, KHULUK, DAN RUJUK
MAKALAH
Diajukan untuk tugas mata kuliah :
Fiqih Muamalah
dan Munakahat
Dosen pembimbing :
H. Achmad Murtafi harits, LC, M.Fil.I
Penyusun :
Luqmanul Hakim (B72211031)
Muhammad Dwi Ardi (B72211032)
Arif Wijaya (B72211033)
Isyaranis Aprihatini (B72211034)
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUSI
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
PENDAHULUAN
Sesungguhnya Allah menghendaki
pernikahan yang mendatangkan ketentraman, kecintaan dan kasih saying, dalam
arti antara suami dan istri wajib hidup atas dasar cinta serta salah satu pihak
haram untuk saling mendhalimi pasangannya.
Tetapi dalam kenyataanya bahwa kehidupan
rumah tangga akan tidak selalu berjalan mulus. Kesempurnaan hanya milik Allah
SWT. Jika muncul sejumlah masalah dalam kehidupan rumah tangga adalah suatu
yang alami dan perlu adanya sikap untuk menangani demi kebaikan bersama.
Banyak sekali kondisi krisis yang
menimpa kehidupan rumah tangga menjadi penyebab terciptanya sikap saling
memahami, pengertian, kecintaan, keikhlasan abtara suami dan istri yang
sebelumnya masing-masing dari keduanya tak merasakan kedekatan, kecintaan dan
kasih saying yang seperti itu. Meskipun kehidupan rumah tangga dilandasi cinta,
tetapi ia tak akan luput dari sejumlah masalah yang melahirkan perbedaan
individu.[1]
Menurut Ibnu Sina dalam bukunya yang
berjudul Asy –syifa, “Sudah selayaknya dibukakan sebuah jalan keluar untuk
perceraian untuk perceraian, mengingat bahwa upaya mengabaikan sama sekali
semua penyebab keretakan hubungan antara suami istri dapat mendatangkan mudarat
lebih besar
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Talak dan Kedudukannya dalam
Islam
Talak
dalam Islam artinya perceraian. Karena berasal dari bahasa Arab : ithlaq artinya melepaskan, atau
meninggalkan. Dalam istilah Fiqih berarti pelepasan ikatan pernikahan, yakni
peceraian antara suami istri.[2].
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, talak adalah
pemutusan ikatan pernikahan melalui ucapan, tulisan, atau isyarat.[3]
Mengenai Talak , Nabi
Muhammad SAW bersabda :
أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Sesiuatu yang halal
dan dibenci oleh Allah Ta’ala adalah Talak” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah,
al-Baihaqi, al- Hakim dan sejumlah perawi lainnya dari Abdullah bin Umar R.a)
Talak atau perceraian jelas
merupakan perkara yang dapat merusak ikatan pernikahan, oleh karena itu
talak dibenci Allah SWT. Sebab dalam Islam ikatan pernikahan merupakan
perjanjian yang kokoh seperti yang tertulis dalam Al-Quran
ِ وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى
بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ
مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا artinya Dan bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian telah
bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat dari kalian?
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (dan
mereka (istri-istri) telah mengambil perjanjian yang kuat dari kalian). Lafal aqad yang diucapkan oleh
lelaki ketika menikahi perempuan disebut sebagai mitsaqan ghalizha artinya
janji yang sangat kuat dan tidak sembarangan. Maka seseorang tidak boleh
sembarangan dalam mengucapkan aqad tersebut. Ada tanggungjawab dan konsekwensi
yang besar di baliknya. Maka suami haruslah sadar ketika menerima janji
tersebut. Betapa kuatnya dalam menjalin ikatan pernikahan, maka setiap upaya
untuk meremehkan ikatan suci ini ataupun memperlemahnya, apalagi memutuskannya
sangat dibenci oleh Allah SWT.
Namun
Allah SWT dengan kebijaksanaan dan keluasan ilmu-Nya menjelaskan pula bahwa
dalam pernikahan pasti banyak menemui permasalahan dalam berbagai faktor. Yang
ditakutkan jika masalah yang timbul saat menjalani rumah tangga yang jika
dipertahankan justru akan mendatangkan akibat yang membahayakan baik suami
ataupun istri, atau bahkan anak- anak mereka. Itulah sebabnya Allah SWT menghalalkan
talak sebagai pintu darurat untuk digunakan ketika tidak ada lagi harapan untuk
memperbaiki dan meneruskan pernikahan
setelah memenuhi berbagai persyaratan menurut Islam.[4]
Agama Islam memberikan hak Talak yang penuh kepada suami.
Hal ini mempertimbangkan bahwa suami yang akan dituntut tanggung jawab secara
materi atas terjaminnya kebutuhan istri
yang ditalak. Misalnya , ia harus membayar uang mut’ah ( atau semacam
uang ganti rugi atau uang jaminan hidup selanjutnya) bagi istri yang dicerai.
Ada juga nafkah untuk istri selama masa iddah dan sebagainya yang pasti akan
memberati tanggung jawab materi suami.[5]
B.
Keadaan Suami yang Menjatuhkan Talak
1.
Talak suami yang mabuk
Ada
perbedaan pendapat mengenai hal ini. Imam Syafi’i, Ahmad, Asy Syaukani, dan
beberapa fuqoha berpendapat tidak sah, karena mabuk itu sama dengan kehilangan
akal atau gila. Seperti jika sholat dalam keadaan mabuk tidak sah. Mayoritas
fuqoha berpendapat hal ini sah, karena orang mabuk tidak sama seperti orang
gila. Karena orang mabuk merusak akal pikirannya sendiri atau dengan sengaja. [6]
2.
Talak
suami yang marah
Orang yang marah cenderung
emosinya tidak terkontrol sehingga tidak
bisa menggambarkan apa yang diucapkan dengan kesadaran. Atas dasar inilah
menurut para ulama tidak sah jika melakukan talak. Telah diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan al- Hakim, dari Aisyah r.a bahwa Nabi SAW pernah bersabda “ tak ada talak maupun itaq (pembebasan budak) dalam keadaan seseorang
sedang marah”.
3.
Talak
suami yang main-main atau tidak sengaja
Beberapa Fuqoha terdahulu berpendapat
sah dengan berdalikan riwayat dari Ahmad,Abu daud, Ibn Majah dan al-Hakim.
Walaupun hadist ini pernah di-dhaifkan oleh Adz-Dzahabi,An-Nasai, [7] bahwa Nabi pernah bersabda :
“Tiga
hal yang seriusnya dianggap serius dan main-mainnya juga dianggap serius, yaitu
nikah,talak, dan rujuk”
Pendapat bahwa tidak sah, ada
pada kalangan Ahlul Bait, Malik, dan Ahmad. Mereka meyakini adanya kemantapan
penuh dan niat dalam hati dalam melakukan talak. Pendapat ini berdasarkan
firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh
227 yang artinya:
“Dan
jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Mengetahui”
4. Talak suami yang kebingungan
Yang dimaksud kebingungan adalah
jika seseorang tidak lagi mengerti apa yang diucapkannya, mungkin akibat
musibah yang menimpanya. Orang seperti
ini tidak sah jika melakukan talak.[8]
C.
Istri
yang dapat dijatuhkan talak
Fuqaha berpendapat mengenai
istri-istri yang yang dapat dijatuhi talak adalah: [9]
a.
Perempuan
yang dinikahi secara sah
b.
Perempuan
yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah.
c.
Belum
habis masa iddahnya
d.
Tidak
sedang haid
D.
Beberapa
Ketentuan hukum Talak
1. Suami tak boleh menceraikan
istrinya dalam kondisi haidh. Berdalil pada hadist Ibnu Umar yang diriwayat
Jama’ah ahli hadist. Namun sebagian Fuqaha berpendapat ini sebagai Talak
Sunnah.Seperti diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar r.a menceraikan istrinya
dan ayahnya Umar bin Khattab menanyakan kepada Rosulullah SAW.dan beliau
berkata :
“Perintahkan kepadanya agar ia rujuk (kembal) kepada istri dan
membiarkannya sampai ia suci dari haidnya, kemudian menunggu sampai haid yang
kedua kali. Dan apabila ia telah suci dari haidnya, boleh ia menetapkan, apakah
ia mempertahankan atau menceraikannya sebelum ia menyentuhnya. Begitulah iddah yang dipertahankan Allah SWT,
berkenaan cara menceraikan istri.”
Rosulullah
memerintahkan untuk merujuki itu bisa berarti rujuk setelah perceraian atau
bisa jadi menghubungi kembali istrinya dan meneruskan hubungan pernikahan
dengannya.
2. Seorang suami yang telah
menggauli istrinya pada saat suci, ia tidak boleh menceraikannya, kecuali jika
telah jelas kehamilannya. [10]
3. Seorang suami tidak boleh
mentalak istrinya lebih dari talak satu atau talak tiga dalam satu majlis.
Penjatuhan talak tiga dalam satu majlis merupakan perbuatan haram. Berdasarkan
sabda Nabi Muhammad SAW,[11]
“
Apakah ia hendak mempermainkan kitab Allah SWT, sedangkan aku masih ada
ditengah-tengah kalian”. HR An-Nasai.
Allah SWT berfirman pada Surat
Al-Baqoroh 230 yang artinya :
“ Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain.”
E.
Mengalihkan
hak talak terhadap istri
Para ulama fiqih menyatakan,
bahwa suami berhak menguasakan kepada istrinya itu untuk menceraikannya. Talak
dapat sah jika istri menerima dan melanjuti dengan pernyataan memilih bercerai.
Bukhari, Muslim, abu Daud, dan beberapa
perawi hadist lainnya meriwayatkan dari Aisyah r.a,[12]
“Rosulullah
memberi kami kesempatan untuk memilih, maka kami pun memilih beliau.Sehingga
tidak terjadi apa-apa.”.
Menurut Muslim “bahwasanya Rosulullah
member kesempatan kepada istri-istrinya untuk memilih, dan k arena mereka tetap
memilih menjadi istri Rosulullah, maka tidak terjadi talak.”
F.
Khuluk
( Talak Tebus)
Masing-masing suami istri
mempunyai hak melakukan talak. Islam tak
memaksa istri harus tetap hidup dengan suami yang tak memungkinkan hidup
bersamanya. Dan jika keinginan itu dari pihak istri maka islam juga
memperbolehkan dirinya dengan menebus dirinya melalui khuluk. Islam menentukan
Khuluk sebagai percerain yang didasarkan harta.[13]
Seorang istri yang melakukan
khuluk harus menebus pembebasan dirinya bukan hanya sekedar mengembalikan mahar
yang diberikan suaminya, tetapi dengan manfaat yang diberikan kepada suaminya,
misalnya penyusunan dan pengasuhan anak suaminya tanpa bayaran. Ketentuan
tersebut berdasarkan HR Bukhari dan AnNasai:
“Istri
Tsabit bin Qais datang pada Rosulullah SAW dan berkata, “Wahai Rosulullah aku
tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tak ingin mengingkari ajaran
islam”. Maka Rosulullah menjawab, “Maukah kau mengembalikan kebunnya?” Istri
Tsabit menjawab, “ Mau”. Maka Rosulullah SAW bersabda Terimalah (Tsabit) kebun
itu, dan talaklah ia satu kali talak. “
G.
Iddah
( Masa menunggu)
Iddah artinya satu masa dimana
istri yang telah diceraikan, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya
telah berisi atau kosong dari kandungan. Dalam istilah fiqih, masa iddah
berarti masa menunggu yangharus dijalani seorang mantan istri yang tidak
ditalak atau ditinggal mati suaminya sebelum ia dibolehkan menikah kembali.[14]
Dasar firmannya terdapat dalam
Surat Al-Baqoroh 228 “ perempuan-perempuan
yang ditalak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’ atau masa haid”
Hikmah firman tersebut diupayakan
oleh para ulama yaitu :
1.
Memberi
cukup kesempatan bagi kedua pasangan untuk memikirkan kembali dengan tenang dan
bijaksana.
2.
Demi
menghargai urusan pernikahan yang sacral
3.
Untuk
mengetahui secara pasti bahwa perempuan itu tidak hamil dari mantan suaminya,
sehingga anaknya kelak menjadi jelas keturunannya.
Iddah mempunyai banyak
perkara seperti Iddah Talak yaitu iddah
karena perceraian. Iddah Hamil yaitu terjadi apabila perempuan-perempuan yang
diceraikan sedang hamil. Iddah mereka sampai melahirkan anak. Iddah Wafat yang
terjadi jika seorang istri di tinggal mati suaminya. Dan iddahnya selama 4
bulan sepuluh hari.Ada juga Iddah karena kehilangan suami dan tidak diketahui
keberadaan suaminya, maka ia bisa menunggu selama 4 tahun lamanya.
H.
Rujuk
Menurut syara’ rujuk adalah kembalinya seorang suami
kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah setelah ditalak Raj’I
atau talak yang memungkinkan masih bisa rujuk. Dalam fiqih rujuk berarti
meneruskan kembali huungan pernikahan yang sebelum itu dikhawatirkan dapat
terputus karena dijatuhkan talak raj’i oleh suami.
Sepanjang istri masih dalam masa
iddahnya, suami boleh merujuki istrinya yang ditalak raj’i oleh suaminya, tanpa
perlu melakukan akad nikah serta mahar baru. Akan tetapi jika masa iddahnya
lewat maka berakhirlah hak suami untuk merujuki istrinya, dan sejak itu istri
bebas dalam ikatan pernikahan, dan sekaligus berhak menikah dengan laki-laki
lain. Ataupun jika boleh menikah lagidengan mantan suaminya, maka dengan akad
nikah dan mahar baru.
Rujuk dengan kata-kata yang jelas
disepakati keabsahannya (sahnya) oleh para ulama.Rujuk dengan perbuatan seperti
dengan mencium, memeluk, ataupun dengan hubungan seksual dengan istrinyang
dirujuki diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama. Beberapa diantaranya
menyatakannya bahwa talak raj’I tidak menghapus akad nikah dan menghalalkan
hubungan suami istri sepanjang istri masih dalam masa iddah.Sebaliknya seperti
Imam Syafi’i, tidak membenarkan rujuk dengan perbuatan. Menurutnya talak
menghapus akad nikah.[15]
Rujuk harus disaksikan oleh dua
orang saksi untuk menghindari kemungkinan adanya perselisihan dikemudian hari
antara suami dan istri, baik berhubungan dengan sah atau tidaknya rujuk, atau
berkenaan dengan berlangsungnya rujuk ketika istri masih dalam keadaan iddah
atau tidak, dan sebagainya
PENUTUP
Allah SWT
dengan kebijaksanaan dan keluasan ilmu-Nya menjelaskan pula bahwa dalam
pernikahan pasti banyak menemui permasalahan dalam berbagai faktor. Yang
ditakutkan jika masalah yang timbul saat menjalani rumah tangga yang jika
dipertahankan justru akan mendatangkan akibat yang membahayakan baik suami
ataupun istri, atau bahkan anak- anak mereka. Itulah sebabnya Allah SWT
menghalalkan talak sebagai pintu darurat untuk digunakan ketika tidak ada lagi
harapan untuk memperbaiki dan meneruskan pernikahan setelah memenuhi berbagai persyaratan menurut
Islam. Talak atau
perceraian jelas merupakan perkara yang dapat merusak ikatan pernikahan,
oleh karena itu talak dibenci Allah SWT. Sebab dalam Islam
ikatan pernikahan merupakan perjanjian yang kokoh seperti yang tertulis dalam
Al-Quran.
Suami tak boleh menceraikan
istrinya dalam kondisi haidh. Seorang suami yang telah menggauli istrinya pada
saat suci, ia tidak boleh menceraikannya, kecuali jika telah jelas
kehamilannya. Seorang suami tidak boleh mentalak istrinya lebih dari talak satu
atau talak tiga dalam satu majlis. Para ulama fiqih menyatakan, bahwa suami
berhak menguasakan kepada istrinya itu untuk menceraikannya. Seorang istri yang
melakukan khuluk harus menebus pembebasan dirinya bukan hanya sekedar
mengembalikan mahar yang diberikan suaminya. , masa iddah berarti masa menunggu
yangharus dijalani seorang mantan istri yang tidak ditalak atau ditinggal mati
suaminya sebelum ia dibolehkan menikah kembali. rujuk adalah kembalinya seorang
suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah setelah ditalak
Raj’I atau talak yang memungkinkan masih bisa rujuk
DAFTAR PUSTAKA
As Sayyid al Iraqi, Butsainah. Menyingkap tabir Perceraian. (Jakarta:Pustaka
AlSofya)
Abidin,Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqih Munakahat. (Bandung : Pustaka Setia)
Bagir Al-Habsyi, Muhammad. Fiqih Praktis 2. ( Bandung:Mizam)
[1]
Butsainah as-sayyid al-Iraqi, Menyingkap
Tabir Perceraian, (Jakarta : Pustaka Al-Sofya), hal 49
[2]
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis
2, ( Bandung:Mizam), hal 181
[3]
Butsainah as-sayyid al-Iraqi, Menyingkap
Tabir Perceraian, (Jakarta : Pustaka Al-Sofya), hal 202
[5]
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis
2, ( Bandung:Mizam), hal 183
[6]
Drs Slamet Abidin dan Drs H. Aminudin, Fiqih
Munakahat, (Bandung : CV pustaka Setia), hal51
[7]
Ibid 4, hal 186
[8]
Ibid 5, hal 52
[9]
Drs Slamet Abidin dan Drs Aminuddin, Fiqih
Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia), hal66
[10]
Butsainah as Sayyid al Iraqi, Menyingkap
tabir Perceraian, (Jakarta:Pustaka AlSofya), hal212
[11]
Ibid 8.
[12]
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis
2, ( Bandung:Mizam),hal 213
[13]
Butsainah as Sayyid al Iraqi, Menyingkap
tabir Perceraian, (Jakarta:Pustaka AlSofya), hal 199
[14]
Ibid 11, hal221
[15]
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis
2, ( Bandung:Mizam),hal 206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar